Instagram

Wednesday

Mengenal Istano Basa Pagaruyuang Lebih Dekat

Istano Basa Pagaruyunag tampak dari depan.

Akhir Mei 2016 lalu, salah satu sahabat dekat saya semasa kuliah di ibu kota, Tya, berkesempatan untuk mengunjungi kampung halaman saya di Nagari Balimbiang, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Dibutuhkan waktu lebih kurang 2-3 jam untuk berkendara dari Bandara Internationa Minangkabau (BIM) yang terletak di Kota Padang menuju rumah orang tua saya. Kami yang bertolak dari Jakarta baru benar-benar sampai di rumah lewat tengah malam.

Tya jauh-jauh terbang menyeberang pulau ke Sumatera dalam rangka menghadiri perhalatan pernikahan sahabat kami yang lain bernama Tari. Akad nikah akan dilangsungkan pada hari Minggu dan dilanjutkan dengan pesta keesokan harinya di kediaman Tari di Padang Panjang. Kami yang sampai di Batusangkar pada hari Jumat, tentu saja memiliki waktu luang seharian penuh pada hari Sabtu. Istano Basa Pagaruyung yang menjadi kebanggaan masyarakat Batusangkar, berada di tangga teratas rekomendasi saya pada Tya. Saya ingin memperkenalkan minangkabau padanya lewat istano. Dan Tya pun setuju.

Pagi-pagi sekali, setelah terlebih dahulu sarapan lontong khas kampuang saya, kami berangkat menuju Istano Basa Pagaruyuang menggunakan sepeda motor. Butuh waktu sekitar 30 menit berkendara dari rumah orang tua saya menuju Istano yang terletak di Nagari Pagaruyuang. Kami lantas memarkirkan sepeda motor kami mengikuti arahan tukang parkir yang berebutan menawarkan jasa parkirnya di sepanjang jalan di depan Istano. Berbekalkan karcis seharga Rp 7.000,- kami berhasil masuk.

Kami baru sampai di Istano Basa Paruyuang nih.

Istano Basa Pagaruyuang tampak megah berdiri kokoh di hadapan kami. Sebuah rangkiang yang konon pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan padi juga berdiri disebelah kiri melengkapi istano. Sementara itu di samping kanan istano terlihat 2 buah beduk yang terletak di hadapan mushola/masjid. Kami lalu berjalan menaiki beberapa tangga bergerak lebih dekat ke arah istano. Beberapa badut berkostum bak anak gadis dan anak bujang minang menawarkan kami untuk berfoto. Beberapa fotografer juga menawarkan hal yang sama. Kami menolak dengan gelengan di kepala dan terus melangkah maju menuju pintu masuk istano.

Petugas pun bersiaga menawarkan kami kantong plastik sebagai tempat sepatu kami karena pengunjung tidak dibenarkan untuk menggunakan alas kaki saat memasuki istano. Setelah meletakkan sepatu di tempat yang kami rasa aman, kami bergegas menaiki tangga memasuki istano. Kami disambut petugas lain di meja tamu dan diminta mengisi data diri. Tya tampak menanyai petugas mengenai beberapa hal umum tentang istano yang tentu saja dengan senang hati dijelaskan oleh patugas. Kamipun lantas memulai berkeliling setelahnya.

Kami berada di lantai 1 istano. Lantai ini merupakan ruangan yang paling luas dibandingkan lantai-lantai yang lain. Dibagian tengah ruangan baik sisi kiri maupun sisi kanan dari pintu masuk terdapat banyak lemari kaca yang memajang benda-benda bersejarah seperti keris, deta, carano, teko, cangkir dan lain-lain. Penjelasan mengenai benda tersebut dapat dibaca pada kertas kecil yang terdapat didekantnya. Benda-benda tersebut konon katanya dipakai oleh raja dan nenek moyang orang minangkabau kabau zaman dulu. Selain itu, kami juga dapat melihat pajangan pakaian adat. Disisi kanan ruangan terdapat beberapa patung laki-laki yang mengenakan pakaian adat berbeda. Saya menjelaskan pada Tya bahwa pakaian tersebut merupakan milik tungku tigo sajarangan di Minangkabau yang terdiri dari niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Sementara di sisi kanan terdapat patung laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian serasi satu sama lain. Saya pun menjelaskan lebih lanjut bahwa mereka tengah menggunakan pakaian pengantin tradisional minangkabau dimana mempelai pria memakai deta dan mepelai wanita memakai tengkuluk tanduk sebagai hiasan kepala mereka. Berbeda dengan pakaian pengantin modern dimana perempuan biasanya menggunakan suntiang sebagai hiasan kepala.

Pakaian pengantin tradisonal minangkabau.

Pakaian alim ulama dan cadiak pandai.

Terdapat perbedaan ketinggian pada lantai ruangan ini. Menaiki dua anak tangga di sisi kanan tersebut, kami menemukan banyak kamar-kamar yang membentang hingga sisi kiri yang konon di tempati oleh raja dan keluarganya. Di depan masing-masing kamar terdapat tikar yang terbuat dari rotan dengan dua buah tudung berpenutup diatasnya. Terdapat juga carano dan kendi. Tudung biasanya berisi makanan, kendi berisi air minum dan carano berisi sirih. Menurut petugas yang kami temui, salah satu fungsi kamar yang banyak adalah konon katanya istri raja yang sedang datang bulan akan tidur di kamar berbeda dengan raja.

Salah satu dari sekian banyak kamar-kamar.
Berpose menggunakan carano di lantai 1 istano.

Setiap kamar dihiasi oleh kain beludru berwarna mencolok dengan taburan payet-payet berwarna emas diatasnya. Menghasilkan kombinasi yang apik. Sangat manggambarkan kekhasan dari ranah minang. Dinding istano terbuat dari kayu yang berukirkan ukiran khas minangkabau seperti kaluak paku, itiak pulang patang, dan lain-lain. Hanya itu ingatan saya tentang pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) yang saya belajari saat sekolah dulu. Kayu berukiran itu diwarnai dengan kombinasi warna coklat untuk batang, hijau dan biru muda untuk daun, kuning untuk bunga dan hitam sebagai warna dasar kayu. Sedangkan pada bagian langit-langit istano terdapat gantungan lampu hias dan hiasan kain menjuntai yang senada dengan hiasan kamar. Dilantai ini terdapat 9 buah jendela besar yang dapat menjadi sumber cahaya dari luar atau bisa juga digunakan untuk melihat indahnya pemandangan di luar istano.

Menaiki tangga, kami pun menuju lantai 2. Lantai ini jauh lebih kecil ukurannya dari lantai pertama dan juga terlihat kosong. Pada sisi kanan ruangan terdapat kamar dengan hiasan kain yang kurang lebih sama dengan yang terdapat di lantai bawah. Di bagian kiri ruangan dari tangga masuk terdapat pajangan berupa lemari dan peti yang terbuat dari kayu berukiran. Selain itu juga terdapat pajangan berupa meja dan kursi tamu. Yang paling menarik menurut saya di lantai ini adalah dinding, langit-langit dan railing tangga yang penuh dengan ukiran yang jenisnya tak berbeda dari lantai bawah. Tapi kombinasi dari ukiran tersebut menciptakan suasan intens seolah-olah saya terperangkap pada kotak kecil. Dilantai ini terdapat 10 buah jendela besar yang dapat digunakan untuk melihat pemandangan di luar istano baik bagian depan ataupun bagian belakang dari tempat yang lebih tinggi.

Lantai 2 istano. (sumber : http://2.bp.blogspot.com)

Ukiran pada railing tangga dan langit-langit di lantai 2 istano.

Iseng banget foto di kaca biar keliatan kurus. hehe.

Saya dan Tya menuntaskan rasa penasaran kami untuk naik ke lantai yang lebih tinggi. Kami harus bergantian dengan pengunjung lain karena keterbatasan tempat. Tempat ini tak jauh berbeda dengan lantai 2, hanya saja ukurannya lebih kecil. Dinding dan langit-langit yang penuh ukiran juga kami temukan disini. Selain itu, terdapat pula hiasan kursi dan meja tamu serta peti berukiran. Cahaya dapat masuk melalui 2 buah jendela besar yang masing-masing menghadap bagian ke depan dan belakang istano.

Lantai 3 istano. (sumber : http://2.bp.blogspot.com/)

Berpose siluet di salah satu jendela di lantai 3 istano.

Turun kembali ke lantai 1, kami menuju bagian belakang istano. Terdapat sebuah bangunan terpisah tapi masih terdapat jalan penghubung menuju istano. Bangunan itu ternyata adalah dapur. Dapur tradisional yang masih menggunakan tungku lengkap dengan peralatan masaknya yang umumnya terbuat dari tanah liat berbagai ukuran dapat ditemukan disini. Peralatan dapur lain yang terbuat dari rotan juga menjadi pajangan disini seperti nyiru, bakul dengan berbagai ukuran, tudung saji dan lain-lain. Terdapat juga kendi, dandang, lampu minyak, dan tempat nira yang terbuat dari bambu.
Dapur dan segala jenis peralatan tradisional di dalamnya. (sumber : http://1.bp.blogspot.com/)

Di bagian basement istano terdapat penyewaan pakaian tradisional minang. Dengan harga yang relatif terjangkau, pengunjung dapat berpose berbalut pakaian adat minang. Pakaiannya terdiri berbagai warna dan ukuran, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, dari anak-anak hingga dewasa dapat ditemukan disini. Pengunjung dapat merasakan langsung menganakan pakaian pengantin modern minangkabau, dimana laki-laki akan terlihat gagah dengan hiasan saluak sedangkan perempuan menggunakan suntiang dengan berat yang cukup lumayan di kepala mereka.

Penyewakan pakaian adat di basement istano. (sumber : http://jelajahsumbar.com/)

Kami lantas menelurusi bagian belakang istano, terdapat kolam yang salah satu bagiannya terdapat pincuran air dari bambu. Konon katanya kolam ini merupakan tempat mandi putri raja. Tak jauh dari kolam ini terdapat beberapa bangunan kecil tanpa dinding yang konon katanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Di belakang istano juga terdapat camp ground yang bisa digunakan untuk area berkemah bersama keluarga atau teman. Selain itu terdapat juga wisata baru yang akhir-akhir ini populer yaitu berupa janjang 1000. Pengunjung dapat menelusuri satu per satu anak tangga manaiki bukit untuk menikmati pemandangan istano dari ketinggian. Di ketinggian tertentu, terdapat beberapa view point yang dilengkapi dengan beberapa kursi permanen sebagai tempat duduk. Butuh perjuangan bagi saya dan Tya untuk mencapai view point, tapi keindahan yang kami dapatkan sebanding dengan keringat yang kami keluarkan.

Pemandangan dari salah satu view point.

Istano Basa Pagaruyuang selalu menjadi tempat wisata favorit warga Batusangkar. Meski telah beberapa kali terbakar dan kemudian dibangun ulang, istano sukses menghadirkan budaya khas minangkabau, baik dari segi bangunan maupun koleksi pajangan yang terdapat didalamnya. Pengelola istano terus berinovasi untuk menarik minat wisatawan salah satunya dengan dibangunnya janjang 1000 yang menjadi buah bibir di kalangan masayarakat. Oleh karena itu, Istano Basa Pagaruyung wajib menjadi tujuan kunjungan teman-teman yang sedang dan akan berwisata ke Sumatera Barat.


(DBY/2017)

No comments:

Post a Comment