Instagram

Thursday

Puncak Aua Sarumpun : Puncak Cantik di Atas Awan

October 19, 2017 0 Comments
Danau Singkarak adalah sebuah danau yang terletak di kampung halaman saya di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Danau dengan luas sekitar 107,8 km persegi ini merupakan danau terluas kedua di pulau Sumatera setelah danau Toba. Danau yang terkenal dengan Ikan bilih ini, dikelilingi oleh perbukitan hijau yang sangat indah. Keindahan itu membuat warga yang bermukim di sekitar danau mempopulerkan wisata bertajuk “Puncak Bukit”. Puncak-puncak yang menawarkan pemandangan danau Singkarak dari ketinggian tersebut, tersebar di sepanjang pinggiran danau. Salah satu yang paling terkenal adalah Puncak Aua Sarumpun.

Puncak Aua Sarumpun menyuguhkan pemandangan danau Singkarak. In frame : Panji Rizki Ananda.

Puncak Aua Sarumpun terletak di Nagari Tigo Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Berjarak sekitar 2 km dari rumah orang tua saya. Puncak ini dinamakan Aua Sarumpun karena konon dahulu terdapat terdapat serumpun bambu di sana. Liburan lebaran kemarin saya dan teman-teman kembali bersepakat untuk mengunjungi Puncak Aua Sarumpun. Kami sudah pernah mengunjungi puncak ini, dan kami ingin mengunjunginya lagi. Matahari terbit, pemandangan danau Singkarak dari ketinggian serta perbukitan di sekelilingnya adalah momen yang kami ingin nikmati. Maka diputuskan untuk maraton selepas subuh menuju Puncak Aua Sarumpun. Mungkin lebih tepat disebut jogging, tapi kami biasa menyebutnya maraton di kampung saya.

Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB, teman-teman saya sudah berdiri di depan rumah menyerukan nama saya. Saya mempercepat bersiap-siap dan segera bergabung dengan mereka. Kami lalu berlari dengan kecepatan sedang menuju Puncak Aua Sarumpun. Suasana sudah sedikit terang saat kami tiba di Siturah, entry point menuju Puncak Aua Sarumpun. Kami lantas bergegas naik. Memasuki jarak 500 meter pertama, saya menemukan teman saya terduduk di jalur. Dia mengeluhkan pusing dan mual. Teman saya itu mengaku begadang dan hanya tidur kurang dari 3 jam. Kami memutuskan untuk turun saja sehingga perjalanan kala itu bisa dikatakan gagal. Sampai jumpa kembali tahun depan matahari terbit, pemandangan danau singkarak dan perbukitan disekelilingnya.

Beberapa tahun yang lalu, kami juga melakukan perjalanan serupa. Saya akan melanjutkan dengan menceritakan pengalaman perjalanan itu saja. Waktu perjalanannya persis sama, selepas subuh. Bedanya kami berhasil sampai di puncak. Saya tertinggal di belakang teman-teman saya yang tentu saja larinya lebih cepat di jalanan setapak yang terbuat dari beton. Masih terdapat rumah penduduk hingga lebih dari setengah perjalanan. Kami menyapa warga yang berpapasan di jalan atau kebetulan duduk di teras rumah mereka. Mereka membalas sapaan kami ramah. Kami lalu memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung untuk sekedar melepas lelah dan juga membeli tambahan persedian air minum untuk di bawa ke atas.

Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kami melewati rumah terakhir, jalur berupa jalan setapak yang terbuat dari beton berganti dengan jalan setapak berbatu sebelum kemudian berganti lagi dengan jalan setapak tanah biasa. Pemandangan rumah penduduk berganti dengan perkebunan dan juga perbukitan seberang. Sang mentari tampak malu-malu mengintip dari balik awan. Cahaya keemasannya tak terasa mulai menghangatkan suhu udara. Saya berhenti sejenak untuk mengabadikan momen.

Jalan setapak berbatu menuju puncak.



Matahari terbit dan rumah penduduk terakhir sebelum puncak.

Kami lalu melanjutkan perjalanan lagi. Menurut teman saya, tujuan kami sudah dekat. Dan benar saja, tak sampai 10 menit perjalanan, kami tiba di Puncak Aua Sarumpun. Saya depat melihat rumpun bambu di sebalah kanan jalur dari arah saya datang. Rumpun tersebut ternyata tidak lagi berjumlah satu tapi dua. Jadi sudah tidak sesuai lagi dengan namanya. Namun apa mau dikata, nama tersebut sudah melekat. Layaknya gunung Pangrango yang memilik lembah Mandalawangi atau gunung Gede dengan Surya Kencana, Puncak Aua Sarumpun juga memiliki lembah sebagai tempat berkumpul. Dataran itu berukuran kira-kira sebesar lapangan bola. Pengunjung biasanya mengabadikan momen danau Singkarak dan perbukitan sekitarnya di sini. Saya dan teman-teman pun tak mau ketinggalan untuk mengabadikan momen. Saya tidak tahu dataran ini sudah ada namanya atau belum. Meskipun pengunjung lebih banyak berkumpul di dataran itu, summit attach menuju Puncak Aua Sarumpun yang sesungguhnya tak boleh ketinggalan untuk dilakukan.

Puncak Aua Sarumpun.Ternyata bambunya tidak hanya satu tapi berjumlah 2 rumpun

Matahari yang tadi mulai muncul tertutup oleh awan sekarang. Pemandangan sekitar juga tertutup awan tipis. Akan tetapi justru itu keunikan yang saya temukan. Saya serasa berada di atas awan. Seulas senyum lebar tak henti terukir di bibir saya menyaksikan pemandangan di tempat ini. Di bagian depan, saya disuguhkan dengan pemandangan danau Singkarak dan perbukitan di sekitarnya. Sementara itu di arah sebaliknya, saya dapat menikmati pemandangan perbukitan hijau yang membuat saya berdecak kagum.


Pemandangan danau Singkarak dan perbukitan di sekitarnya yang tertutup awan tipis.          
Pemandangan perbukitan hijau di sisi yang bersebarangan dengan danau Singkarak. In frame : Muhammad Andre Lutfi

Sisi lain perbukitan sekitar yang saya abadikan di jalur.

Puncak Aua Sarumpun ini sangat mudah dijangkau. Hanya berjarak sekitar 12 km dari pusat kota batusangkar ke arah Ombilin. Pengunjung bebas memilih tipe perjalanan yang diinginkan seperti berjalan kaki seperti kami, mengendarai sepeda motor atau bahkan mobil. Pengunjung dapat memarkirkan kendaraannya di lembah berkumpul yang sebelumnya saya ceritakan.

Ketika saya berkunjung beberapa tahun lalu, belum ada pengelolaan khusus terhadap tempat ini. Namun beberapa sumber menyebutkan bahwa pemuda sekitar lokasi telah mulai mengelola Puncak Aua Sarumpun ini. Pengunjung dikanakan tarif sebesar Rp. 5000,- / orang. Menurut saya, harga itu sebanding atau malah tak seberapa dibandingkan dengan pengalaman berwisata yang disuguhkan. Jadi, saya sangat merekomendasikan untuk menjadikan Puncak Aua Sarumpun sebagai salah satu pilihan wisata jika mengunjungi Batusangkar dan sekitarnya.

(DBY/2017)

Rahasia Utama Menulis adalah Niat

October 12, 2017 0 Comments
Saya suka sekali membaca. Semua berawal ketika saya duduk di bangku sekolah menengah. Guru Bahasa Indonesia saya, Ibu Frida Meca, mewajibkan kami untuk membaca novel lalu membuat review mengenai novel tersebut. Ibu Fri, panggilan akrab kami kepada beliau, memperkenalkan saya pada Supernova : Ksatria dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari, Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dan The Secret. Saya juga pernah membuat review mengenai novel terjemahan berjudul The Wednesday Letter. Sejak saat itu saya menjadi gemar membaca novel hingga sekarang.

Tak terhitung karya penulis novel tanah air yang menumpuk di kardus di rumah saya. Tumpukan tersebut tentu saja membuat mama saya naik pitam dan geleng-geleng kepala. Menurutnya saya hanya buang-buang uang dengan membeli buku (maksudnya novel) sebanyak itu. Mama bilang lebih baik uang untuk membeli buku tersebut saya belikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Tapi ya mau bagaimana ya ma, kalau sudah terlanjur suka susah dipisahkan.

Di suatu hari yang cerah, teman saya, Zella Nofitri, berceletuk. Menurutnya saya sudah memiliki kegemaran membaca. Itu sesuatu yang patut disyukuri. Akan tetapi seharusnya kegemaran tersebut diikuti oleh keinginan menulis. Saya terus memikirkan ucapan Zella tersebut. Hingga bertahun-tahun kemudian, keinginan untuk menulis itu mencul di dalam diri saya.

Saya menemukan alasan kuat yang memotivasi saya untuk menulis. Alasan pertama adalah untuk mengabadikan momen. Manusia memiliki daya ingat yang terbatas. Layaknya foto, tulisan juga merupakan salah satu media untuk mengabadikan momen. Hal tersebut saya alami sendiri ketika berkegiatan di alam bebas. Guna menuliskan cerita perjalanan, saya dan teman-teman seperjalanan saya diajarkan untuk menulis Log Book perjalanan. Dengan bantuan Log Book tersebut, saya menjadi terbantu mengingat detail kejadian selama perjalanan saya untuk dikembangkan lebih lanjut. Alasan selanjutnya saya temukan melalui sebuah quote. Saya lupa siapa penulis quote tersebut. Alasan yang terkandung dalam quote tersebut adalah untuk dikenang. Bunyi quote-nya seperti ini: “Writing is a way to be remembered. Even if the author is gone, their writing remain.

Saya menggunakan mbah google sebagai sarana pertama untuk menunjang keinginan menulis saya. Banyak sekali situs, blog dan ulasan-ulasan menarik yang saya temukan pengenai penulisan. Penemuan saya tersebut lumayan membantu saya sedikit banyak mengenal dunia penulisan khususnya penulisan fiksi. Terdapat juga beberapa rekomendasi judul buku yang menurut sumber tersebut sangat cocok dan sangat membantu untuk pemula. Mengantongi judul-judul tersebut, saya bergegas ke toko buku terdekat.

Saya kesulitan menemukan buku yang saya cari. Awalnya saya mencoba mencari sendiri karena malas bertanya. Beberapa waktu berkeliling, saya tak kunjung menemukan yang saya cari. Saya lalu memutuskan untuk meminta bantuan mesin pencari, sebuah perangkat komputer yang dapat digunakan untuk mengecek ketersedian buku dan posisi buku di toko tersebut. Akan tetapi, tidak ada pencarian yang muncul pada kata kunci yang saya tuliskan. Saya mengganti kata kunci beberapa kali dengan judul buku atau penulis yang terdapat pada catatan saya. Tapi hasilnya nihil. Sekalinya ada, stoknya sedang kosong. Saya akhirnya memutuskan bertanya kepada penjaga toko untuk memastikan. Mas-mas tersebut mengantarkan saya pada rak kategori buku kepenulisan. Judul yang terdapat di sana berbeda dengan judul pada list yang saya buat. Saya lantas membaca blurb yang terdapat di bagian belakang buku. Buku-buku tersebut tidak sesuai dengan keinginan saya. Saya memutuskan untuk tidak jadi membeli.

Dengan kepala ditekuk saya bergegas hendak meninggalkan toko buku tersebut. Akan tetapi, sebuah bazar yang digelar di lantai basement toko buku tersebut menarik perhatian saya. Saya lantas mampir terlebih dahulu untuk mengunjungi bazar. Berbagai jenis buku dipajang dan diobral dengan harga lebih murah. Saya pun menuju bagian novel. Banyak sekali novel best seller keluaran lama yang dijual dengan harga murah, hanya sekitar 30% dari harga jual awal buku tersebut. Sayangnya saya sudah membaca sekaligus memiliki buku-buku tersebut. Ditengah pencarian saya yang tak berujung karena saya tidak tahu apa yang saya cari, saya menemukan sebuah buku kepenulisan yang cukup menarik berjudul "(Jurnal) Menulis Cara Gue" yang ditulis Primadonna Angela. Kalau saya tidak salah ingat, penulis ini adalah penulis teenlit yang lumayan populer. Saya menyukai desain sampul dan juga tulisan yang terdapat pada blurb di bagian belakang buku. Bermodalkan sepuluh ribu rupiah saja, saya membawa pulang buku tersebut.



Cover buku (Journal) Menulis Cara Gue. (sumber : https://goo.gl/images/y4jJvU)

Saya senang sekali karena pencarian saya hari itu tidak sia-sia. Saya menemukan buku yang kelihatannya menarik. Sunyum sumringah tak henti terukir di bibir saya dalam perjalanan pulang. Sesampainya dirumah, saya tak sabar untuk membaca buku tersebut. Saya sobek dengan paksa plastik yang melindungi buku. Saya membuka halaman pertama, saya diharuskan mengisi nama dan alamat saya jika buku ini sewaktu-waktu hilang. Saya terus membalikkan halaman menuju halaman judul, lalu selanjutnya daftar isi, selanjunya satu lembar mengenai bagaimana caranya menulis dan selanjutnya kertas kosong. Saya terus membalikkan halaman, mungkin saja buku ini salah cetak. Tapi saya tak kunjung menemukan lembar bertulisan hingga empat halaman terakhir yang berisikan mengenai empat jurus memoles naskah, lima jurus memikat editor, bagaimana memilih penerbit yang tepat dan bagian tentang penulis. Selebihnya hanya kertas kosong yang bertuliskan kata-kata mutiara acak di setiap halamannya.

Saya kecewa. Benar-benar kecewa hingga saya melempar buku tersebut diatas meja secara sembarangan. Saya mengharapkan lebih. Tentang tips dan trik menulis mungkin, bagaimana menemukan ide, bagaimana menentukan kerangka cerita, membuat deskripsi cerita dan hal-hal lain yang menjadi dasar penulisan fiksi. Tapi saya tidak mendapatkan itu semua dibuku ini. Saya kembali meraih buku tersebut dari meja, membaca kembali blurb di bagian belakang buku. Bisa saja saya salah tangkap atau salah interpretasi. Kata kunci yang saya garis bawahi adalah bahwa buku ini adalah panduan. Akan tetapi saya merasa tidak terpandu sama sekali.

Satu hal yang saya dapat petik dari buku ini terkait kepenulisan adalah Rahasia Utama Menulis adalah Niat. Untuk tips yang lain berupa memoles naskah, memikat editor dan memilih penerbit belum bisa saya terapkan karena tulisannya juga belum jadi.

(DBY/2017)

Wednesday

Menyambangi Museum Jendral Besar DR. A.H. Nasution

October 11, 2017 0 Comments


Tour De Museum

Akhir pekan, saya dan beberapa teman sering berkumpul bersama. Peringatan peristiwa G30S beberapa waktu lalu yang diperingati dengan menonton kembali filmnya, tengah ramai menjadi pembicaraan baik di media masa, media sosial maupun dari mulut ke mulut. Saya dan teman-teman menyayangkan kebisuan kami saat membicarakan topik tersebut karena memang kami minim informasi terkait peristiwa bersejarah tersebut. Maka kami pun bersepakat untuk meyambangi museum-museum yang menampilkan bukti nyata peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut.

Museum Jendral Besar DR. A.H. Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar No. 40, Menteng, Jakarta Pusat menjadi pilihan museum pertama yang kami kunjungi. Museum dibuka untuk umum setiap Selasa hingga Minggu, mulai dari pukul 08.00 WIB hingga 14.00 WIB. Tidak ada tarif khusus yang ditetapkan bagi pengunjung alias gratis. Museum ini diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 3 Desember 2008.

Butuh waktu sekitar satu jam dari basecamp kami di Kalibata menuju museum ini menggunakan taxi online. Sesampainya di museum, patung Jendral Besar DR. A.H. Nasution yang berdiri gagah di halaman depan museum menyambut kami. Dua buah miniatur meriam mendampinginya di sisi kiri dan kanan. Tanpa membuang waktu, saya dan teman-teman bergegas masuk.


Pak Jendral berdiri gagah menyambut pengunjung.
  
Dua buah meriam mendampingi pak Jendral.

Memasuki pintu masuk rumah utama, kami kembali disambut oleh sang jendral melalui patung setangah badannya yang persis menghadap ke pintu. Kami lalu mengisi buku tamu pada sebuah meja tamu kecil yang berada di sisi kiri ruangan. Tidak ada biaya tertentu yang ditetapkan, tapi pengunjung dapat memberikan sumbangan sukarela yang bisa dimasukkan kedalam kotak sumbangan di sebelah meja tamu.

Sisi kanan ruaang depan. Meja buku tamu dan kotak sumbangan sukarela yang berada di kiri pintu masuk.
Museum ini awalnya adalah rumah tinggal Pak Nasution dan keluarganya. Rumah ini menjadi saksi peristiwa bersejarah termasuk peristiwa G30S yang nyaris merenggut jiwa Pak Nasution. Secara keseluruhan museum ini terdiri dari rumah utama, 1 buah pavilion di bagian kiri rumah utama, 1 buah bangunan seperti kantor pengelola di bagian kanan, 1 buah pos satpam yang terletak persis di depan pintu masuk, banyak kamar-kamar, dan 1 buah mushola yang terdapat di bagian belakang rumah utama.

Rumah utama terdiri dari ruang depan, ruang kerja, ruang tamu VIP, 2 buah kamar, ruang makan dan dapur. Selain berdekorasi seperti rumah pada umumnya, di sini juga digambarkan reka ulang peristiwa menorobos masuknya pasukan Tjakrabirawa pada dini hari di tahun 1965 silam dalam bentuk diorama sehingga pengunjung sedikit banyak dapat membayangkan kondisi pada saat itu.

Saya memulai penelusuran saya dari ruang depan. Ruangan depan ini berisikan 2 set kursi tamu. Di sebelah kiri, terdapat meja kayu kecil dengan 4 buah kursi one seater.  Sementara itu, di sebelah kanan ruangan terdapat sebuah meja kayu yang lebih besar, sofa panjang dan 4 buah kursi one seater yang berwarna senada dengan sofa. Dua buah lemari kaca memajang koleksi berharga sang jendral masing-masing di kedua sisi ruangan.  Dua buah guci besar berwarna biru tampak mencolok di sebelah sofa.
Dekorasi yang terdapat di sisi kanan ruang depan.

Saya lalu beralih ke ruang kerja pak Nasution yang berisikan diorama pak Nasution berpakaian dinas lengkap yang tengah duduk di meja kerja. Selain itu, terlihat beberapa pajangan piagam dan foto-foto yang memenuhi dinding. Yang paling mencolok sekaligus menarik dari ruangan ini adalah lemari tinggi yang hampir memakan separuh ruangan yang berisikan koleksi buku-buku pak Nasution.

Ruang kerja Pak Nasution.

Lemari besar yang berisi koleksi buku Pak Nasution.

Terdapat ruang tamu VIP yang berhadapan dengan ruang kerja. Seperangkat kursi tamu yang lebih ekslusif terdapat disini. Tak ketinggalan lemari pajang yang memajang beberapa koleksi. Bersebelahan dengan ruangan ini, terdapat ruangan yang memajang koleksi senjata yang dimiliki oleh Pak Nasution. Mulai dari senjata api baik laras pendek maupun laras panjang hingga pedang dan keris.

Ruang tamu VIP.

Koleksi senjata api Pak Nasution.

Koleksi pedang dan keris Pak Nasution.

Pengunjung tampak bergerombol di tengah ruangan mendengarkan kronologis peristiwa G30S dari salah seorang bapak pemandu museum. Saya lantas merapat untuk ikut mendengarkannya. Alkisah, pada dini hari 1 Oktober 1965, 13 orang pasukan Tjakrabirawa mencari Jendral A.H. Nasution. Mereka tidak tahu persis rumah dan wajah Pak Nasution. Penjaga rumah tetangga sempat menjadi sasaran juga malam itu, sebelum akhirnya mereka menuju rumah Pak Nasution. Penjaga bersenjata yang bertugas di bagian depan rumah berhasil dilumpuhkan. Pasukan Tjakrabirawa langsung menerobos masuk rumah melalui pintu utama yang kebetulan tidak dikunci. Ibu Nasution melongokkan kepala dari pintu kamar utama untuk memastikan keributan yang terjadi. Tindakan Ibu Nasution meyakinkan Pasukan Tjakrabirawa bahwa mereka telah berada di rumah yang benar sekaligus memberi tahu kamar Pak Nasution. Mereka berusaha mendobrak pintu kamar yang dikunci dari dalam. Bapak pemandu menunjuk diorama Pasukan Tjakrabirawa yang terdapat di lorong yang terlihat hendak memasuki kamar tidur.

Pasukan Tjakrabirawa yang terdapat di lorong.

Bapak pemandu mengajak kami untuk beranjak menuju kamar tidur utama. Kamar ini berdekorasi seperti kamar tidur pada umumnya yang terdiri dari tempat tidur, lemari, meja rias, kursi malas, hiasan foto dan lemari pajang. Di kamar ini terdapat diorama Pak Nasution yang memakai pakaian rumah lengkap dengan sarung. Bapak pemandu lalu melanjutkan ceritanya bahwa Pak Nasution berniat menemui Pasukan Tjakrabirawa untuk berunding. Namun Ibu Nasution melarang, karena Pasukan Tjakrabirawa bersenjata dan tak terlihat datang untuk berunding. Maka Ibu Nasution lantas meminta Pak Nasution untuk menyelamatkan diri dengan melompati pagar belakang. Ibu Nasution lantas meminta Ibu Mardiah, adik pak Nasution, untuk memegangi Irma, anak perempuan mereka. Ditengah kepanikan, Ibu Mardiah yang tengah menggendong Irma malah membukakan pintu kamar yang mengakibatkan Irma tertembak. Melihat tidak adanya Pak Nasution di dalam kamar, Pasukan Tjakrabirawa lantas menggeledah seluruh rumah. Hal ini dimanfaatkan oleh Ibu Mardiah untuk keluar dari pintu samping dan menyerahkan Irma yang bersimbah darah kepada Ibu Nasution. Melihat anaknya terluka, Pak Nasution yang tengah melompati pagar berniat kembali dan melihat kondisi Irma. Namun Ibu Nasution melarang dan meminta Pak Nasution untuk menyelamatkan dirinya dengan melompat ke hutan belakang. Lompatan yang tergesa-gesa Pak Nasution tidak mendarat dengan sempurna sehingga menyebabkan kakinya cidera. Kami lantas menuju ruangan di pintu samping dimana terdapat diorama yang menggambarkan Pak Nasution tengah melompati pagar sementara Ibu Nasution menggendong Irma yang bersimbah darah.
Pasukan Tjakrabirawa berusaha mendobrak kamar utama.

Pak Nasution tengah memanjat pagar dan Ibu Nasution menggendong Irma yang bersimbah darah.

Kami lalu menuju ke ruang makan dimana terdapat seperangkat meja dan kursi makan. Disini terdapat miniatur 5 orang Pasukan Tjakrabirawa yang menodongkan senjata kepada Ibu Nasution yang menggendong Irma yang bersimbah darah.  Ibu Nasution berdiri di ruang telepon yang tak bersekat dengan ruang makan. Bapak pemandu lalu melanjutkan ceritanya. Dengan masih menggendong Irma, Ibu Nasution lalu kembali ke dalam rumah menuju ruang telepon yang terletak di sebelah ruang makan berniat untuk menelpon Kodam Jaya. Akan tetapi, Ibu Nasution malah berhadapan dengan Pasukan Tjakrabirawa. Mereka berteriak-teriak menanyakan keberadaan “Nasution”, tidak lagi menggunakan kata “pak” sebagai bentuk hormat. Ibu Nasution mengoreksi paggilan mereka kepada Pak Nasution sebelum memberitahu mereka bahwa Pak Nasution sedang tidak di tempat. Suara peluit terdengar dari arah luar rumah. Pasukan Tjakrabirawa yang berada di dalam rumah bergegas menuju sumber suara. Pasukan Tjakrabirawa yang lain telah menemukan dan menangkap seseorang mengaku bernama Nasution di pavilion yang berada tepat di sebalah kiri rumah. Orang yang diikat dan dibawa oleh Pasukan Tjakrabirawa itu adalah Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean.

Ibu Nasution yang berhadapan dengan Pasukan Tjakrabirawa di ruang makan.

Ibu Nasution lantas melarikan Irma ke rumah sakit. Irma hanya bertahan beberapa hari sebelum akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir. Bapak pemandu mengakhiri ceritanya. Saya lantas kembali berkeliling museum. Kamar Irma adalah tempat yang ingin saya kunjungi setelah mendengarkan kisah tadi. Berbagai perasaan berkecamuk di diri saya ketika memasuki kamar Irma. Kamar tidur itu terdiri atas satu buah tempat tidur kecil dan satu buah lemari yang memajang foto, pakaian dan benda-benda kesayangan Irma. Saya tereyuh melihat foto gadis kecil itu, terlebih ketika membaca tulisan pada foto Irma yang sedang duduk di pangkuan Pak Nasution. “Papa, apa salah adek?”

Koleksi foto baju dan benda-benda kesayangan Irma di kamarnya.

Papa, apa salah adek ?

Keluar dari ruangan itu, saya menuju ruangan telepon. Di sini dipajang koleksi piagam dan penghargaan yang diperoleh Pak Nasution. Terdapat juga lukisan cantik Pak Nasution dan Ibu Nasution. Saya lantas menuju dapur yang tepat berada di depan ruang telepon. Dapur itu berdekorasi seperti dapur pada umumnya. Akan tetapi tidak terdapat lagi peralatan memasak, hanya koleksi cangkir yang masih terlihat di lemari kaca. Saya mengakhiri penelusuran di rumah utama dan berjalan menuju pavilion.

Koleksi penghargaan dan piagam Pak Nasution.

Lukisan Bapak dan Ibu Nasution

Di area pavilion saya menemukan diorama yang menggambarkan penangkapan Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean yang sebelumnya diceritakan oleh Bapak pemandu. Di bagian belakang Pavilion, digambarkan beberapa peristiwa bersejarah lain dari Pak Nasution, seperti Peristiwa Bandung Lautan Api, Peristiwa Hijarah Siliwangi, dan sidang MPRS pada tahu 1966.
Diorama penangkapan Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean.

Dibagian belakang kawasan, terdapat sebuah mushola yang dapat digunakan pengunjung untuk sholat. Saya juga melihat banyak kamar-kamar yang diberi nomer saat menuju mushola. Terlihat juga mobil Jendral berbintang 5 yang turut menjadi koleksi museum di parkir yang berada di belakang rumah utama. Pada salah satu sisi kawasan, terdapat wall art yang menggambarkan penghargaan-penghargaan yang pernah di raih oleh Pak Nasution semasa hidupnya.

Wall art yang memuat penghargaan yang pernah diraih oleh Pak Nasution

Mobil volvo bintang lima yang menjadi koleksi museum.

Banyak sekali informasi, pengalaman dan pengetahuan baru yang saya dapatkan dengan berkunjung ke museum ini. Selain berwisata, saya dapat mempelajari mengenai peristiwa besar bersejarah yang pernah terjadi di bangsa ini. Museum ini dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata yang menarik jika berkunjung ke Jakarta.

(DBY/2017)